Senin, 05 Desember 2016

BANI SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA SEDERHANA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya yang dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.[1]
Sehubungan dengan hal itu, maka perlu ada sistem penyelesaian sengketa yang efisien, efektif, dan cepat sehingga dalam menghadapi liberalisasi perdagangan terdapat lembaga yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki kemampuan sistem untuk menyelesaikan sengketa dengan cepat dan biaya murah. Disamping itu, penyelesaian secara litigasi dalam praktik terdapat alternatif penyelesaian sengketa (alternative disputes resolution), yaitu arbitrase.[2] Semangat pembentukan lembaga arbitrase tersebut juga dilatarbelakangi oleh sistem peradilan yang memiliki struktur yang begitu besar.
Struktur kelembagaan peradilan litigasi yang begitu besar dapat dilihat dari pasal 24 ayat (2) pada Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah lembaga Mahkamah Agung serta badan-badan peradilan umum yang berada dibawahnya.[3] Dengan besarnya sturuktur kelembagaan peradilan litigasi tersebut, maka akan begitu banyak proses penyelesaian sengketa mulai dari pemeriksaan pada tingkat pertama di pengadilan negeri, upaya hukum banding di pengadilan tinggi serta upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung serta upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) apabila para pihak yang bersengketa merasa tidak puas dengan hasil putusan dari setiap penyelesaian sengketa.
Selain itu juga didalam Undang-Undang No.48 Tahun 2009 pada pasal 58 sampai dengan pasal 61 juga mengatur tentang penyelesaian sengketa diluar peradilan diharapkan agar proses penyelesaian dapat berjalan dengan cepat, murah, sederhana serta berakhir dengan damai diantara para pihak yang bersengketa nantinya. Perkataan arbitrase sendiri berasal dari kata arbitrare (bahasa latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 pada pasal 1 ayat (1) menyebutkan pengertian dari arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini berdasarkan latar belakang dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah pembentukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia?
2.      Bagaimana prosedur penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia?
3.      Apa alasan memilih penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menjawab rumusan masalah dari makalah ini diantaranya:
1.      Untuk mengetahui sejarah pembentukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
2.      Untuk mengetahui prosedur penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
3.      Untuk mengetahui alasan memilih penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Sejarah Pembentukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Pada tanggal 3 Desember 1977, kurang lebih 22 tahun sebelum dibentuknya Undang-Undang No.30 Tahun 1999, atas prakarsa dari Prof. R. Subekti, S.H (Mantan Ketua Mahkamah Agung), Harjono Tjitrosubono, S.H (Ketua Ikatan Advokat Indonesia), dan A.J. Abubakar, S.H. Didirikanlah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga penyelesaian sengketa komersial yang bersifat otonom dan independen. Pendirian BANI ini sendiri didukung penuh oleh Kamar Dagang Industri Indonesia, yaitu oleh Marsekal (Purn) Suwoto Sukendar (Ketua) dan Julius Tahya (anggota pengurus). Selain itu pendirian ini juga mendapat restu dari Menteri Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Ketua Bappenas dan juga Presiden Republik Indonesia.[4]
Berbicara lebih jauh tentang sejarah terbentuknya lembaga BANI dapat juga kita lihat dalam ketentuan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) yang telah berlaku mulai dari zaman pendudukan Hindia-Belanda di Indonesia. Saat Hindia-Belanda menjadi penguasa di Indonesia, penduduk Indonesia dibagi beberapa golongan yang mendasari adalah pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling (IS), berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa golongan Eropa dan bagi mereka yang disamakan berlaku hukum barat. Sedangkan bagi golongan Bumi Putera berlaku hukum adat masing-masing, akan tetapi dapat juga berlaku hukum barat jika ada kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan Cina dan Timur Asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum barat dengan beberapa pengecualian.[5]
Karena adanya beberapa perbedaan hukum tersebut, konsekuensinya adalah adapula perbedaan badan-badan peradilan berikut hukum acaranya. Peradilan untuk golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Raad Van Justitie dan Residentie-gerecht sebagai peradilan sehari-hari. Hukum acara yang dipergunakan adalah hukum acara yang termuat dalam Rv. Untuk golongan Bumi Putera dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Landraad sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan daerah dan sebagainya. Hukum acara yang dipergunakan adalah termuat dalam Heiziene Inlandsch Reglement (HIR), sedangkan untuk daerah pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Rechtsreglement Buitengesweten (Rbg).[6]
Dasar hukum berlakunya Arbitrase pada zaman kolonial Belanda terdapat dalam pasal 377 HIR dan pasal 705 Rbg yang berbunyi: “Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah maka mereka wajib mentaati peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”.[7] Bila melihat isi dari ketentuan pasal yang terdapat dalam HIR maupun Rbg dimungkinkan untuk menyelesaikan sengketa di jalur non-litigasi. Akan tetapi, ketentuan dalam HIR maupun Rbg itu sendiri tidak memuat ketentuan dasar mengenai arbitrase. Agar tidak terjadi kekosongan hukum, pasal dalam HIR maupun Rbg tersebut langsung menunjuk aturan pasal-pasal yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Rv. S 1847-52 jo. 1849-63).
Pada zaman Hindia-Belanda, arbitrase dipergunakan oleh para pedagang baik eksportir maupun importir dan pengusaha lainnya. Pada masa itu terdapat tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh pemerintah Belanda yaitu:
a.       Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia
b.      Badan arbitrase tentang kebakaran
c.       Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.[8]
Dimasa Jepang melakukan penjajahan di Indonesia, peradilan Raad Van Justitie dan Residentie-gerecht dihapuskan. Jepang membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi nama Tiboo Hooin. Badan peradilan ini merupakan lanjutan dari Landraad. Namun walaupun badan peradilan diganti, ketentuan hukum acara yang berlaku pada masa itu tetap mengacu pada HIR dan Rbg. Mengenai berlakunya arbitrase, pemerintah Jepang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum dan undang-undang dari pemerintah dahulu (Hindia-Belanda) tetap diakui sah untuk sementara waktu asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.[9]
Setelah Indonesia merdeka, untuk mencegah kevakuman hukum diberlakukanlah aturan peralihan UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum ada yang baru menurut UUD ini”. Bila melihat penjelasan diatas dapat disimpulakan bahwa semua peraturan yang sudah ada sejak zaman Hindia-Belanda dulu selama belum berubah, diganti ataupun ditambah masih tetap berlaku. Keadaan ini masih terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan telah adanya aturan hukum yang jelas tentang arbitrase, maka kedudukan dan kewenangan dari Arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas dan kuat.
Dalam Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, metode penyelesaian sengketa diluar pengadilan juga telah diakui, dimana dinyatakan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan diluar pengadilan negara melalui arbitrase maupun alternatif penyelesaian sengketa yang ketentuannya terdapat dalam pasal 58 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.[10]
2.      Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Pada dasarnya, Badan Arbitrase Nasional Indonesia merupakan lembaga yang menyelenggarakan penyelesaian sengketa yang timbul sehubungan dengan perjanjian-perjanjian atau transaksi bisnis mengenai soal perdagangan, industri, dan keuangan. Dalam menjalankan kegiatan di lapangan usaha bisnis, merupakan salah satu kebutuhan mutlak agar suatu sengketa dapat ditangani dan diselesaikan secara cepat dan adil. Secara umum bila kita berbicara mengenai penyelesaian sengketa, dalam hal ini sengketa perdata maka terdapat dua cara penyelesaian sengketa yaitu melalui proses litigasi (melalui badan peradilan umum) serta melalui proses non-litigasi (melalui jalur diluar peradilan).
Bebicara mengenai proses penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi, Mahkamah Agung sebagai lembaga kekuasaan kehakiman sendiri telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung untuk mengatur tatacara penyelesaian sengketa diluar peradilan. Akan tetapi dalam makalah ini saya akan membahas mengenai prosedur penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Menurut ketentuan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No.30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa apabila penyelesaian sengketa dilakukan melalui suatu lembaga/ badan arbitrase, maka prosedur yang akan dipergunakan adalah prosedur yang ditetapkan oleh lembaga/ badan yang bersangkutan, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.[11] Apabila para pihak yang bersengketa telah sepakat untuk mengajukan sengketa mereka kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), maka prosedur penyelesaian sengketa sesuai dengan peraturan prosedur BANI adalah sebagai berikut:
a.       Permohonan arbitrase
Prosedur arbitrase menurut Peraturan Prosedur Arbitrase BANI, dalam tahap pertama dimulai dengan mengajukan permohonan arbitrase dan surat permohonan tersebut akan di daftarkan oleh Sekretaris BANI dalam suatu register yang khusus untuk itu. Surat permohonan tersebut harus memuat:[12]
(1)   Nama lengkap dan tempat tinggal kedua belah pihak yang berselisih;
(2)   Uraian singkat tentang duduk perkara; dan
(3)   Apa yang dituntut.
Apa yang diwajibkan untuk dimuat dalam surat permohonan menurut prosedur BANI sama dengan apa yang diterangkan dalam ketentuan pasal 38 pada Undang-Undang No.30 Tahun 1999. Pada surat permohonan itu harus dilampirkan salinan naskah atau akta perjanjian yang secara khusus menyerahkan pemutusan sengketa kepada arbiter/ majelis arbiter. Apabila surat permohonan diajukan oleh seorang juru kuasa, surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut harus juga dilampirkan pula. Dalam surat permohonan itu juga pemohon dapat memilih seorang arbiter atau menyerahkan penunjukkan arbiter kepada Ketua BANI.
Pendaftaran tidak akan dilakukan oleh Sekretaris BANI apabila biaya-biaya pendaftaran dan administrasi/ pemeriksaan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan tentang Biaya Arbitrase belum dibayar lunas oleh pemohon (pasal 2 ayat (4) peraturan prosedur BANI). Bila melihat ketentuan pasal 2 ayat (4) pada peraturan prosedur BANI dikaitkan dengan pasal 77 ayat (1) Undang-Undang No.30 Tahun 1999 yang menyatakan biaya perkara dibebankan kepada pihak yang kalah, tentunya bertentangan. Berarti ketentuan pasal 2 ayat (4) pada peraturan prosedur BANI tidak berlaku karena masih berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Rv.[13]
b.      Proses pemeriksaan dan tenggang waktu yang diperlukan
Berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999, para pihak dalam suatu perjanjian tegas dan tertulis bebas untuk menentukan acara (proses pemeriksaan) arbitrase yang digunakan dalam persidangan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No.30 Tahun 1999. Demikian juga para pihak bebas menentukan jangka waktu dan tempat diselenggarakan pemeriksaan/ persidangan, termasuk arbiter atau majelis arbiter yang memutuskan.
Berbeda dengan ketentuan dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999, peraturan prosedur BANI mengatur secara lengkap proses pemeriksaan dan tata cara yang diperlukan. Untuk memudahkan pemahaman, prosedur arbitrase tersebut akan digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut:
Text Box: TERMOHONText Box: PEMOHON                                                                 1
          
   7           3        2                                                                               4         5       7
Text Box: PERSIDANGAN                                               8           9                                                                                                                     


 


          6

Keterangan:
1.      Telah ada kesepakatan di antara para pihak bahwa penyelesaian perselisihan yang telah atau akan timbul akan diselesaikan oleh BANI dan menurut prosedur badan arbitrase tersebut.
2.      Pemohon mengajukan permohonan arbitrase kepada BANI dengan membayar biaya pendaftaran dan biaya administrasi dan persidangan. Menurut ketentuan pasal 77 ayat (1) UU No.30 Tahun 1999 biaya administrasi dan persidangan adalah menjadi tanggung jawab pihak yang kalah. Dengan memerhatikan ketentuan ini, prosedur yang kedua tidak berlaku.
3.      Permohonan akan ditolak paling lama 30 hari jika jelas bahwa penyelesaian perselisihan tersebut bukan kewenangan BANI.
4.      Ketua BANI menyampaikan salinan surat permohonan pemohon kepada termohon.
5.      Termohon harus mengajukan jawaban secara tertulis paling lama 30 hari sejak diterimanya salinan permohonan pemohon.
6.      Ketua BANI mengirim jawaban termohon kepada pemohon; sekaligus.
7.      Kepada kedua belah pihak diperintahkan untuk segera menghadap ke persidangan paling lama 14 hari sejak perintah dikeluarkan.
8.      Jika pemohon tidak hadir dalam persidangan, permohonan arbitrasenya akan digugurkan.
9.      Jika termohon tidak hadir, dan tidak hadir juga setelah dipanggil secara patut untuk kedua kalinya, majelis akan memutus perselisihan secara verstek.




3.      Alasan memilih penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Dalam dunia bisnis, tentunya banyak pertimbangan yang mendasari para pelaku bisnis untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan yang akan mereka hadapi. Namun demikian, kadangkala pertimbangan mereka itu berbeda dengan, baik jika ditinjau secara toeritis maupun secara empiris, atau kenyataannya di lapangan. Secara umum dinyatakan bahwa lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain:
(1)   Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
(2)   Dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan administratif;
(3)   Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya memiliki pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil;
(4)   Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
(5)   Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.[14]
Disamping itu, selain kelebihan yang telah diungkapkan sebelumnya ada beberapa pertimbangan yang melandasi para pihak untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan mereka. Pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Ketidakpercayaan para pihak pada Pengadilan Negeri
Sebagaimana diketahui, penyelesaian sengketa dengan membuat suatu gugatan melalui pengadilan akan menghabiskan jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini disebabkan biasanya melalui Pengadilan Umum akan melalui berbagai tingkatan, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Apabila diperoleh putusan dari Pengadilan Negeri, pihak yang merasa tidak puas dapat mengajukan upaya hukum banding dan kasasi sehingga akan memakan waktu yang begitu lama dan perselisihan diantara para pihak pun akan menjadi berlarut-larut.
Disamping itu, seringkali dijumpai bahwa dimana-mana seperti di lembaga Peradilan Umum dijumpai adanya tunggakan perkara-perkara yang menyebabkan semakin lamanya penyelesaian perkara di pengadilan. Dengan demikian dapatlah dimengerti mengapa jalur lewat peradilan tidaklah menguntungkan dunia bisnis yang menuntut penyelesaian serba cepat. Oleh karena itu, arbitrase merupakan sarana yang tepat untuk menyelesaikan sengketa yang sesuai dengan kebutuhan dalam dunia bisnis.
2)      Prosesnya cepat
Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase seringkali lebih cepat dan lebih murah dibandingkan proses litigasi di pengadilan. Pada dasarnya prosedur arbitrase memberi batas waktu penyelesaian dalam pemeriksaan sengketa. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 48 ayat (1) pada Undang-Undang No.30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pemeriksaan atas sengketa harus selesai dalam waktu paling lama 180 hari atau 6 bulan sejak arbiter ataupun majelis arbiter terbentuk.[15]
Bila kita melihat ketentuan dalam prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia, proses arbitrase memerlukan waktu paling lama 6 bulan. Di negara yang telah maju, proses arbitrase memerlukan waktu sekitar 60 hari sehingga proses relatif cepat, terutama jika para pihak beritikad baik.
3)      Dilakukan secara rahasia
Keuntungan apabila menyerahkan suatu sengketa kepada badan/ majelis arbitrase, yaitu bahwa proses pemerikasaan maupun pemutusan sengketa oleh suatu majelis arbitrase selalu dilakukan secara tertutup sehingga tidak ada publikasi dan para pihak terjaga kerahasiaannya. Tidak seperti halnya dalam proses penyelesaian dalam sidang pengadilan yang mana dalam ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa persidangan dilaksanakan secara terbuka untuk umum, begitu pula putusannya pun diucapkan dalam sidang terbuka.
4)      Diselesaikan oleh ahlinya (expert)
Penyelesaian suatu perkara di Pengadilan terkadang memerlukan biaya tambahan. Hal ini karena seringkali dijumpai hakim kurang mampu menangani kasus/ perselisihan yang bersifat teknis sehingga diperlukan untuk menghadirkan saksi ahli untuk memberikan keterangan dibawah sumpah tentang apa saja yang bersifat teknis yang ingin diketahui oleh hakim guna menyelesaikan kasus yang dihadapkan padanya.
Dalam hal penyelesaian melalui arbitrase, saksi ahli tidak mesti harus dihadirkan karena para pihak yang bersengketa dapat menunjuk para ahli untuk menjadi arbiter yang serba mengetahui masalah yang dipersengketakan. Dengan demikian, para pihak memilih arbitrase ini karena mereka memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter terhadap persoalan yang dipersengketakan dibandingkan jika mereka menyerahkannya kepada Pengadilan Negeri.
5)      Merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding)
Putusan arbitrase pada umumnya dianggap final dan binding. Namun apabila hukum yang berlaku dalam yurisdiksi yang bersangkutan menetapkan pelaksanaan putusan arbitrase melalui pengadilan, pengadilan harus mengesahkan dan tidak memiliki hak untuk meninjau kembali materi dari putusan tersebut.

6)      Bebas memilih hukum yang diberlakukan
Para pihak dapat memilih hukum yang akan diberlakukan, yang ditentukan oleh para pihak sendiri dalam perjanjian. Khususnya dalam kaitannya dengan para pihak yang berbeda kewarganegaraan, para pihak yang bebas memilih hukum ini berkaitan dengan teori pilihan hukum dalam Hukum Perdata Internasional. Hal ini dikarenakan setiap negara memiliki HPI tersendiri.
7)      Eksekusinya mudah
Keputusan arbitrase umumnya lebih mudah dilaksanakan daripada putusan-putusan pengadilan. Hal ini disebabkan oleh karena putusan arbitrase bersifat final dan binding, yang tentunya dilandasi dengan itikad baik para pihak. Pelaksanaan putusan arbitrase tersebut mungkin akan lebih cepat dilaksanakan karena putusannya yang dianggap final dan tidak dapat diajukan banding kecuali ada alasan ataupun dasar yang khusus.





BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dari penulisan makalah ini terkait dengan judul Badan Arbitrase Nasional Indonesia Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Yang Sederhana dapat ditarik kesimpulan diantaranya:
a.       Dalam sejarah perkembangannya, ternyata lembaga arbitrase sudah dikenal sejak lama dimulai dari masa pendudukan Hindia-Belanda di Indonesia sampai terbentuknya Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan telah terbentuknya peraturan perundang-undangan tersebut, membuat kedudukan lembaga arbitrase menjadi nyata.
b.      Jika melihat proses penyelesaian sengketa melalui BANI, proses penyelesaian sengketa relatif sederhana dikarenakan BANI sebagai lembaga arbitrase sifat putusan final dan binding
c.       Alasan-alasan penyelesaian sengketa melalui BANI utamanya dikarenakan ketidakmampuan pengadilan konvensional dalam menyelesaikan perkara-perkara dalam bisnis secara cepat. Sehingga arbitrase merupakan salah satu lembaga alternatif dalam menyelesaikan sengketa agar kegiatan usaha dari para pihak tidak terganggu akibat dari munculnya sengketa diantara mereka.


[1] Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional, Sinar Grafika, 2011, Jakarta, hal.1-2
[2] Frans Hendra Winarta, Ibid.
[3] Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen
[4] Frans Hendra Winarta, Op.Cit., hal.87-88
[5] F.Hidayanti, “BAB II Tinjauan Umum Tentang Arbitrase”, 2014, <http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40871/3/Chapter%20II.pdf>, [20/11/2016]
[6] Ibid.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
[11] Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
[12] Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hal.96
[13] Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Ibid
[14] Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Ibid
[15] Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa