BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara konvensional, penyelesaian
sengketa biasanya dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan,
proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya yang
dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak
saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara
litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif
penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.[1]
Sehubungan dengan hal itu, maka perlu
ada sistem penyelesaian sengketa yang efisien, efektif, dan cepat sehingga
dalam menghadapi liberalisasi perdagangan terdapat lembaga yang dapat diterima
dunia bisnis dan memiliki kemampuan sistem untuk menyelesaikan sengketa dengan
cepat dan biaya murah. Disamping itu, penyelesaian secara litigasi dalam
praktik terdapat alternatif penyelesaian sengketa (alternative disputes
resolution), yaitu arbitrase.[2] Semangat
pembentukan lembaga arbitrase tersebut juga dilatarbelakangi oleh sistem
peradilan yang memiliki struktur yang begitu besar.
Struktur kelembagaan peradilan litigasi
yang begitu besar dapat dilihat dari pasal 24 ayat (2) pada Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah lembaga
Mahkamah Agung serta badan-badan peradilan umum yang berada dibawahnya.[3]
Dengan besarnya sturuktur kelembagaan peradilan litigasi tersebut, maka akan
begitu banyak proses penyelesaian sengketa mulai dari pemeriksaan pada tingkat
pertama di pengadilan negeri, upaya hukum banding di pengadilan tinggi serta
upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung serta upaya hukum luar biasa (peninjauan
kembali) apabila para pihak yang bersengketa merasa tidak puas dengan hasil
putusan dari setiap penyelesaian sengketa.
Selain itu juga didalam Undang-Undang
No.48 Tahun 2009 pada pasal 58 sampai dengan pasal 61 juga mengatur tentang
penyelesaian sengketa diluar peradilan diharapkan agar proses penyelesaian dapat
berjalan dengan cepat, murah, sederhana serta berakhir dengan damai diantara
para pihak yang bersengketa nantinya. Perkataan arbitrase sendiri berasal dari
kata arbitrare (bahasa latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan. Dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 pada pasal
1 ayat (1) menyebutkan pengertian dari arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat
dalam makalah ini berdasarkan latar belakang dari makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
sejarah pembentukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia?
2.
Bagaimana
prosedur penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia?
3.
Apa alasan
memilih penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk menjawab rumusan masalah dari makalah ini diantaranya:
1.
Untuk mengetahui
sejarah pembentukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
2.
Untuk mengetahui
prosedur penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
3.
Untuk mengetahui
alasan memilih penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Pembentukan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia
Pada tanggal 3 Desember 1977, kurang
lebih 22 tahun sebelum dibentuknya Undang-Undang No.30 Tahun 1999, atas
prakarsa dari Prof. R. Subekti, S.H (Mantan Ketua Mahkamah Agung), Harjono
Tjitrosubono, S.H (Ketua Ikatan Advokat Indonesia), dan A.J. Abubakar, S.H.
Didirikanlah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga
penyelesaian sengketa komersial yang bersifat otonom dan independen. Pendirian
BANI ini sendiri didukung penuh oleh Kamar Dagang Industri Indonesia, yaitu
oleh Marsekal (Purn) Suwoto Sukendar (Ketua) dan Julius Tahya (anggota
pengurus). Selain itu pendirian ini juga mendapat restu dari Menteri Kehakiman,
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Ketua Bappenas dan juga Presiden
Republik Indonesia.[4]
Berbicara lebih jauh tentang sejarah
terbentuknya lembaga BANI dapat juga kita lihat dalam ketentuan Reglement op de
Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) yang telah berlaku mulai dari zaman pendudukan
Hindia-Belanda di Indonesia. Saat Hindia-Belanda menjadi penguasa di Indonesia,
penduduk Indonesia dibagi beberapa golongan yang mendasari adalah pasal 131 dan
163 Indische Staatsregeling (IS), berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa golongan
Eropa dan bagi mereka yang disamakan berlaku hukum barat. Sedangkan bagi
golongan Bumi Putera berlaku hukum adat masing-masing, akan tetapi dapat juga
berlaku hukum barat jika ada kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan
Cina dan Timur Asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi
mereka berlaku hukum barat dengan beberapa pengecualian.[5]
Karena adanya beberapa perbedaan hukum
tersebut, konsekuensinya adalah adapula perbedaan badan-badan peradilan berikut
hukum acaranya. Peradilan untuk golongan Eropa dan mereka yang disamakan
kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Raad Van Justitie dan
Residentie-gerecht sebagai peradilan sehari-hari. Hukum acara yang dipergunakan
adalah hukum acara yang termuat dalam Rv. Untuk golongan Bumi Putera dan mereka
yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Landraad sebagai
peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan
kabupaten, peradilan daerah dan sebagainya. Hukum acara yang dipergunakan
adalah termuat dalam Heiziene Inlandsch Reglement (HIR), sedangkan untuk daerah
pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Rechtsreglement Buitengesweten
(Rbg).[6]
Dasar hukum berlakunya Arbitrase pada
zaman kolonial Belanda terdapat dalam pasal 377 HIR dan pasal 705 Rbg yang
berbunyi: “Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan
mereka diputuskan oleh juru pisah maka mereka wajib mentaati peraturan
pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”.[7]
Bila melihat isi dari ketentuan pasal yang terdapat dalam HIR maupun Rbg
dimungkinkan untuk menyelesaikan sengketa di jalur non-litigasi. Akan tetapi,
ketentuan dalam HIR maupun Rbg itu sendiri tidak memuat ketentuan dasar
mengenai arbitrase. Agar tidak terjadi kekosongan hukum, pasal dalam HIR maupun
Rbg tersebut langsung menunjuk aturan pasal-pasal yang terdapat dalam Reglement
Hukum Acara Perdata (Rv. S 1847-52 jo. 1849-63).
Pada zaman Hindia-Belanda, arbitrase
dipergunakan oleh para pedagang baik eksportir maupun importir dan pengusaha
lainnya. Pada masa itu terdapat tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh
pemerintah Belanda yaitu:
a.
Badan arbitrase
bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia
b.
Badan arbitrase
tentang kebakaran
c.
Badan arbitrase
bagi asuransi kecelakaan.[8]
Dimasa Jepang melakukan penjajahan di
Indonesia, peradilan Raad Van Justitie dan Residentie-gerecht dihapuskan.
Jepang membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi
nama Tiboo Hooin. Badan peradilan ini merupakan lanjutan dari Landraad. Namun
walaupun badan peradilan diganti, ketentuan hukum acara yang berlaku pada masa
itu tetap mengacu pada HIR dan Rbg. Mengenai berlakunya arbitrase, pemerintah
Jepang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan
bahwa semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum dan undang-undang dari
pemerintah dahulu (Hindia-Belanda) tetap diakui sah untuk sementara waktu asal
tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.[9]
Setelah Indonesia merdeka, untuk
mencegah kevakuman hukum diberlakukanlah aturan peralihan UUD 1945 tertanggal
18 Agustus 1945 yang menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada
langsung berlaku, selama belum ada yang baru menurut UUD ini”. Bila melihat
penjelasan diatas dapat disimpulakan bahwa semua peraturan yang sudah ada sejak
zaman Hindia-Belanda dulu selama belum berubah, diganti ataupun ditambah masih
tetap berlaku. Keadaan ini masih terus berlanjut sampai dikeluarkannya
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Dengan telah adanya aturan hukum yang jelas tentang arbitrase, maka
kedudukan dan kewenangan dari Arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas dan
kuat.
Dalam Undang-Undang No.48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, metode penyelesaian sengketa diluar pengadilan
juga telah diakui, dimana dinyatakan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata
dapat dilakukan diluar pengadilan negara melalui arbitrase maupun alternatif
penyelesaian sengketa yang ketentuannya terdapat dalam pasal 58 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman.[10]
2.
Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Badan
Arbitrase Nasional Indonesia
Pada dasarnya, Badan Arbitrase Nasional
Indonesia merupakan lembaga yang menyelenggarakan penyelesaian sengketa yang
timbul sehubungan dengan perjanjian-perjanjian atau transaksi bisnis mengenai
soal perdagangan, industri, dan keuangan. Dalam menjalankan kegiatan di
lapangan usaha bisnis, merupakan salah satu kebutuhan mutlak agar suatu
sengketa dapat ditangani dan diselesaikan secara cepat dan adil. Secara umum
bila kita berbicara mengenai penyelesaian sengketa, dalam hal ini sengketa
perdata maka terdapat dua cara penyelesaian sengketa yaitu melalui proses
litigasi (melalui badan peradilan umum) serta melalui proses non-litigasi
(melalui jalur diluar peradilan).
Bebicara mengenai proses penyelesaian
sengketa melalui jalur non-litigasi, Mahkamah Agung sebagai lembaga kekuasaan
kehakiman sendiri telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung untuk mengatur
tatacara penyelesaian sengketa diluar peradilan. Akan tetapi dalam makalah ini
saya akan membahas mengenai prosedur penyelesaian sengketa melalui Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Menurut ketentuan pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa apabila penyelesaian sengketa
dilakukan melalui suatu lembaga/ badan arbitrase, maka prosedur yang akan
dipergunakan adalah prosedur yang ditetapkan oleh lembaga/ badan yang
bersangkutan, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.[11]
Apabila para pihak yang bersengketa telah sepakat untuk mengajukan sengketa
mereka kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), maka prosedur
penyelesaian sengketa sesuai dengan peraturan prosedur BANI adalah sebagai
berikut:
a.
Permohonan
arbitrase
Prosedur arbitrase menurut Peraturan
Prosedur Arbitrase BANI, dalam tahap pertama dimulai dengan mengajukan
permohonan arbitrase dan surat permohonan tersebut akan di daftarkan oleh
Sekretaris BANI dalam suatu register yang khusus untuk itu. Surat permohonan
tersebut harus memuat:[12]
(1)
Nama lengkap dan
tempat tinggal kedua belah pihak yang berselisih;
(2)
Uraian singkat
tentang duduk perkara; dan
(3)
Apa yang
dituntut.
Apa yang diwajibkan untuk dimuat dalam
surat permohonan menurut prosedur BANI sama dengan apa yang diterangkan dalam
ketentuan pasal 38 pada Undang-Undang No.30 Tahun 1999. Pada surat permohonan
itu harus dilampirkan salinan naskah atau akta perjanjian yang secara khusus
menyerahkan pemutusan sengketa kepada arbiter/ majelis arbiter. Apabila surat
permohonan diajukan oleh seorang juru kuasa, surat kuasa khusus untuk
mengajukan permohonan tersebut harus juga dilampirkan pula. Dalam surat
permohonan itu juga pemohon dapat memilih seorang arbiter atau menyerahkan
penunjukkan arbiter kepada Ketua BANI.
Pendaftaran tidak akan dilakukan oleh
Sekretaris BANI apabila biaya-biaya pendaftaran dan administrasi/ pemeriksaan
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan tentang Biaya Arbitrase belum dibayar
lunas oleh pemohon (pasal 2 ayat (4) peraturan prosedur BANI). Bila melihat
ketentuan pasal 2 ayat (4) pada peraturan prosedur BANI dikaitkan dengan pasal
77 ayat (1) Undang-Undang No.30 Tahun 1999 yang menyatakan biaya perkara dibebankan
kepada pihak yang kalah, tentunya bertentangan. Berarti ketentuan pasal 2 ayat
(4) pada peraturan prosedur BANI tidak berlaku karena masih berdasarkan
ketentuan yang terdapat dalam Rv.[13]
b.
Proses
pemeriksaan dan tenggang waktu yang diperlukan
Berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun
1999, para pihak dalam suatu perjanjian tegas dan tertulis bebas untuk
menentukan acara (proses pemeriksaan) arbitrase yang digunakan dalam
persidangan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No.30 Tahun 1999.
Demikian juga para pihak bebas menentukan jangka waktu dan tempat
diselenggarakan pemeriksaan/ persidangan, termasuk arbiter atau majelis arbiter
yang memutuskan.
Berbeda dengan ketentuan dalam
Undang-Undang No.30 Tahun 1999, peraturan prosedur BANI mengatur secara lengkap
proses pemeriksaan dan tata cara yang diperlukan. Untuk memudahkan pemahaman,
prosedur arbitrase tersebut akan digambarkan dalam bentuk bagan sebagai
berikut:
1
7 3 2
4 5 7
8 9
6
Keterangan:
1.
Telah ada
kesepakatan di antara para pihak bahwa penyelesaian perselisihan yang telah
atau akan timbul akan diselesaikan oleh BANI dan menurut prosedur badan
arbitrase tersebut.
2.
Pemohon
mengajukan permohonan arbitrase kepada BANI dengan membayar biaya pendaftaran
dan biaya administrasi dan persidangan. Menurut ketentuan pasal 77 ayat (1) UU
No.30 Tahun 1999 biaya administrasi dan persidangan adalah menjadi tanggung
jawab pihak yang kalah. Dengan memerhatikan ketentuan ini, prosedur yang kedua
tidak berlaku.
3.
Permohonan akan
ditolak paling lama 30 hari jika jelas bahwa penyelesaian perselisihan tersebut
bukan kewenangan BANI.
4.
Ketua BANI
menyampaikan salinan surat permohonan pemohon kepada termohon.
5.
Termohon harus
mengajukan jawaban secara tertulis paling lama 30 hari sejak diterimanya salinan
permohonan pemohon.
6.
Ketua BANI
mengirim jawaban termohon kepada pemohon; sekaligus.
7.
Kepada kedua
belah pihak diperintahkan untuk segera menghadap ke persidangan paling lama 14
hari sejak perintah dikeluarkan.
8.
Jika pemohon
tidak hadir dalam persidangan, permohonan arbitrasenya akan digugurkan.
9.
Jika termohon
tidak hadir, dan tidak hadir juga setelah dipanggil secara patut untuk kedua
kalinya, majelis akan memutus perselisihan secara verstek.
3.
Alasan memilih penyelesaian sengketa melalui Badan
Arbitrase Nasional Indonesia
Dalam dunia bisnis, tentunya banyak
pertimbangan yang mendasari para pelaku bisnis untuk memilih arbitrase sebagai
upaya penyelesaian perselisihan yang akan mereka hadapi. Namun demikian,
kadangkala pertimbangan mereka itu berbeda dengan, baik jika ditinjau secara
toeritis maupun secara empiris, atau kenyataannya di lapangan. Secara umum
dinyatakan bahwa lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain:
(1)
Dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak;
(2)
Dapat
dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan administratif;
(3)
Para pihak dapat
memilih arbiter yang menurut keyakinannya memiliki pengetahuan, pengalaman,
serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan
adil;
(4)
Para pihak dapat
menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase; dan
(5)
Putusan arbitrase
merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara
(prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.[14]
Disamping itu, selain kelebihan yang
telah diungkapkan sebelumnya ada beberapa pertimbangan yang melandasi para
pihak untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan mereka.
Pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Ketidakpercayaan
para pihak pada Pengadilan Negeri
Sebagaimana diketahui, penyelesaian
sengketa dengan membuat suatu gugatan melalui pengadilan akan menghabiskan
jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini disebabkan biasanya melalui
Pengadilan Umum akan melalui berbagai tingkatan, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi dan Mahkamah Agung. Apabila diperoleh putusan dari Pengadilan Negeri,
pihak yang merasa tidak puas dapat mengajukan upaya hukum banding dan kasasi
sehingga akan memakan waktu yang begitu lama dan perselisihan diantara para
pihak pun akan menjadi berlarut-larut.
Disamping itu, seringkali dijumpai bahwa
dimana-mana seperti di lembaga Peradilan Umum dijumpai adanya tunggakan
perkara-perkara yang menyebabkan semakin lamanya penyelesaian perkara di
pengadilan. Dengan demikian dapatlah dimengerti mengapa jalur lewat peradilan
tidaklah menguntungkan dunia bisnis yang menuntut penyelesaian serba cepat.
Oleh karena itu, arbitrase merupakan sarana yang tepat untuk menyelesaikan
sengketa yang sesuai dengan kebutuhan dalam dunia bisnis.
2)
Prosesnya cepat
Sebagai suatu proses pengambilan
keputusan, arbitrase seringkali lebih cepat dan lebih murah dibandingkan proses
litigasi di pengadilan. Pada dasarnya prosedur arbitrase memberi batas waktu
penyelesaian dalam pemeriksaan sengketa. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan
pasal 48 ayat (1) pada Undang-Undang No.30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa
pemeriksaan atas sengketa harus selesai dalam waktu paling lama 180 hari atau 6
bulan sejak arbiter ataupun majelis arbiter terbentuk.[15]
Bila kita melihat ketentuan dalam
prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia, proses arbitrase memerlukan waktu
paling lama 6 bulan. Di negara yang telah maju, proses arbitrase memerlukan
waktu sekitar 60 hari sehingga proses relatif cepat, terutama jika para pihak
beritikad baik.
3)
Dilakukan secara
rahasia
Keuntungan apabila menyerahkan suatu
sengketa kepada badan/ majelis arbitrase, yaitu bahwa proses pemerikasaan
maupun pemutusan sengketa oleh suatu majelis arbitrase selalu dilakukan secara
tertutup sehingga tidak ada publikasi dan para pihak terjaga kerahasiaannya.
Tidak seperti halnya dalam proses penyelesaian dalam sidang pengadilan yang
mana dalam ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa persidangan
dilaksanakan secara terbuka untuk umum, begitu pula putusannya pun diucapkan dalam
sidang terbuka.
4)
Diselesaikan
oleh ahlinya (expert)
Penyelesaian suatu perkara di Pengadilan
terkadang memerlukan biaya tambahan. Hal ini karena seringkali dijumpai hakim
kurang mampu menangani kasus/ perselisihan yang bersifat teknis sehingga
diperlukan untuk menghadirkan saksi ahli untuk memberikan keterangan dibawah
sumpah tentang apa saja yang bersifat teknis yang ingin diketahui oleh hakim
guna menyelesaikan kasus yang dihadapkan padanya.
Dalam hal penyelesaian melalui
arbitrase, saksi ahli tidak mesti harus dihadirkan karena para pihak yang
bersengketa dapat menunjuk para ahli untuk menjadi arbiter yang serba
mengetahui masalah yang dipersengketakan. Dengan demikian, para pihak memilih
arbitrase ini karena mereka memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian
arbiter terhadap persoalan yang dipersengketakan dibandingkan jika mereka
menyerahkannya kepada Pengadilan Negeri.
5)
Merupakan
putusan akhir (final) dan mengikat (binding)
Putusan arbitrase pada umumnya dianggap
final dan binding. Namun apabila hukum yang berlaku dalam yurisdiksi yang
bersangkutan menetapkan pelaksanaan putusan arbitrase melalui pengadilan,
pengadilan harus mengesahkan dan tidak memiliki hak untuk meninjau kembali
materi dari putusan tersebut.
6)
Bebas memilih
hukum yang diberlakukan
Para pihak dapat memilih hukum yang akan
diberlakukan, yang ditentukan oleh para pihak sendiri dalam perjanjian.
Khususnya dalam kaitannya dengan para pihak yang berbeda kewarganegaraan, para
pihak yang bebas memilih hukum ini berkaitan dengan teori pilihan hukum dalam
Hukum Perdata Internasional. Hal ini dikarenakan setiap negara memiliki HPI
tersendiri.
7)
Eksekusinya
mudah
Keputusan arbitrase umumnya lebih mudah
dilaksanakan daripada putusan-putusan pengadilan. Hal ini disebabkan oleh
karena putusan arbitrase bersifat final dan binding, yang tentunya dilandasi
dengan itikad baik para pihak. Pelaksanaan putusan arbitrase tersebut mungkin
akan lebih cepat dilaksanakan karena putusannya yang dianggap final dan tidak
dapat diajukan banding kecuali ada alasan ataupun dasar yang khusus.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari penulisan makalah ini terkait
dengan judul Badan Arbitrase Nasional Indonesia Sebagai Lembaga Penyelesaian
Sengketa Yang Sederhana dapat ditarik kesimpulan diantaranya:
a.
Dalam sejarah perkembangannya,
ternyata lembaga arbitrase sudah dikenal sejak lama dimulai dari masa
pendudukan Hindia-Belanda di Indonesia sampai terbentuknya Undang-Undang No.30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan telah
terbentuknya peraturan perundang-undangan tersebut, membuat kedudukan lembaga
arbitrase menjadi nyata.
b.
Jika melihat
proses penyelesaian sengketa melalui BANI, proses penyelesaian sengketa relatif
sederhana dikarenakan BANI sebagai lembaga arbitrase sifat putusan final dan
binding
c.
Alasan-alasan
penyelesaian sengketa melalui BANI utamanya dikarenakan ketidakmampuan
pengadilan konvensional dalam menyelesaikan perkara-perkara dalam bisnis secara
cepat. Sehingga arbitrase merupakan salah satu lembaga alternatif dalam menyelesaikan
sengketa agar kegiatan usaha dari para pihak tidak terganggu akibat dari
munculnya sengketa diantara mereka.
[1] Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase
Nasional Indonesia & Internasional, Sinar Grafika, 2011, Jakarta,
hal.1-2
[2] Frans Hendra Winarta, Ibid.
[3] Undang-Undang Dasar 1945 Hasil
Amandemen
[4] Frans Hendra Winarta, Op.Cit.,
hal.87-88
[5] F.Hidayanti, “BAB II Tinjauan
Umum Tentang Arbitrase”, 2014, <http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40871/3/Chapter%20II.pdf>, [20/11/2016]
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Undang-Undang No.30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
[11] Undang-Undang No.30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
[12] Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif
Penyelesaian Sengketa Bisnis, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hal.96
[13] Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Ibid
[14] Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Ibid
[15] Undang-Undang No.30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa